Makalah Revolusi Paradigma Thomas Kuhn
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan
sains merupakan suatu proses yang bertahap, dengan proses ini telah melahirkan
para ilmuwan. Perkembangan ilmu pengetahuan telah melahirkan aliran keilmuan
yang digolongkan kedalam dua peran, pertama mereka harus menemukan ilmuwan mana
dan fakta, hukum dan teori apa yang telah ditemukan. Kedua mereka harus
menjelaskan kekeliruan pada kepercayaan mitos dan tahayul yang telah terkekang
oleh penemu ilmu pengetahuan modern.
Setelah sains bersatu dengan tekhnologi pada pertengahan abad
ke-19, ia menjadi kekuatan penting dan sentral dalam perubahan sosial dan
budaya bagi masyarakat. Karena daya tarik sains dan tekhnologi yang begitu
tersebar luas ke dalam pikiran manusia. Sehingga pengaruhnya telah mewarnai
seluruh masyarakat dunia dari Timur hingga Barat. Efek yang dominan
ini dipengaruhi kuat oleh model epistemologi yang berkembang terutama
rasionalisme dan empirisisme.
Kecenderungan masyarakat ilmuwan untuk menikmati sains yang
dirumuskan bersama dengan paradigmanya, membuat rasa ingin tahu yang mendalam
oleh sebagian ilmuwan lainnya, seperti yang dialami Thomas Kuhn. Ia melihat
adanya ketidakpedulian terhadap sesuatu yang ada dibalik sains itu. Di satu
pihak masyarakat hanya menikmati sains dalam skala praktis, di pihak lain para
ilmuwan menerapkan penelitian dan eksperimennya dengan kadar persepsinya
terhadap alam yang menurutnya sudah tepat. Kedua sikap tersebut menuntunnya
untuk melakukan sebuah upaya mengungkapkan bahwa sains berkembang tidak bisa
lepas dari paradigma para ilmuan. Maka Kuhn ingin mencetuskan apa yang ia sebut
sebagai revolusi sains (science revolution). Dalam makalah ini kita akan
melihat bagaimana revolusi sains yang dimaksudkannya dan problem yang mengitari
fenomena sains saat ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori pengetahuan tentang ilmu
?
2. Bagaimana metode ilmiah filsafat ilmu ?
3. Bagaimana metode ilmiah Thomas Kuhn ?
4. Bagaimana paradigma awal dan
proses revolusi sains ?
C. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat
ilmu
2. Untuk mengetahui teori pengetahuan
tentang ilmu
3. Untuk mengetahui metode ilmiah filsafat
ilmu
4. Mengetahui metode ilmiah Thomas Kuhn
5. Mengetahui paradigma awal dan proses revolusi sains
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Pengetahuan Tentang Ilmu
1.
Rasionalisme
Dalam
arti sempit “rasionalisme” berarti anggapan mengenai teori pengetahuan yang
menekankan akal dan/atau rasio untuk membentuk pengetahuan. Ini berarti
sumbangan akal lebih besar daripada sumbangan indera, kadang-kadang sedemikian
rupa sehingga diterima adanya struktur bawaan (ide, kategori).
Mengenai
ilmu diketengahkan oleh rasionalisme bahwa mustahillah membentuk ilmu hanya
berdasarkan fakta, data empiris atau pengamatan. Itu semua tidak cukup untuk
menyusun pertanyaan-pertanyaan umum yang berlaku mutlak , seperti sering
terjadi didalam ilmu.
Seiring
Leibniz banyak pemikir berhaluan rasionalistis menyimpulkan bahwa dari bertulak
dari unsur-unsur kebetulan mustahillah timbul tertib ilmiah, bila akal sendiri
tidak memberikan struktur. Jadi data empiris kurang menyediakan dasar bagi keberaturan
ilmiah.[1]
2.
Empirisme
Kesukaran
yang melekat pada rasionalisme , dalam arti sempit istilah itu ialah bahwa
harus diterima adanya ide, kategori atau struktur bawaan, kendati hanya
bersifat benih. Melawan rasionalisme, empirisme menunjukkan bahwa dengan
demikian kurang dihargai pentingnya masukan dari data kenyataan yang
menumbuhkan pengetahuan. Maka empirisme dalam filsafat ilmu dapat lebih mengindahkan keharusan
selalu mengubah dan mencocokkan system ilmu.
Para
empirisis inggris yang klasik seperti F.Bacon, T. Hobbes , J. Locke
,C.Barkeley, dan D.Hume menuntut perhatian untuk pengaruh bahan pada
pembangunan limas ilmu.Maka Locke mengatakan bahwa pengetahuan terdiri atas connection and agreement (disagreement) of our ideas. Dengan
“ide” ini pasti tidak dimaksud ide umum, bawaan yang juga disebut kategori,
namun gambaran mengenai data empiris.
Kesulitan
yang dihadapi empirisme lebih-lebih disebabkan oleh kaidah-kaidah logika dan
matematika yang berlaku umum.
3. Positivisme
Positivisme logis memecahkan masalah dengan
menganggap ilmu formal (matematika, logika) bukan sebagai pengetahuan yang
berhubungan dengan sesuatu diluar bahasa(kenyataan).
Positivisme logis tetap setia pada sifatnya yang
empiristis dengan menganggap hukum-hukum logis sebagai hubungan melulu antara
istilah-istilah, hasil perkataan, dan ini berlaku sedemikian rupa sehingga
timbul system totologis. Artinya pengandaran logis memungkinkan pengembalian
seluruh system formal kepada identitas logis (“A” itu ”A”). positivism logis
pun bertolak dari data empiris, seperti pengamatan dan fakta yang dinyatakan
dengan memakai ungkapan pengamatan atau “kalimat protokol”.[2]
4. Konstruktivisme
Kebanyakan pemikir menyimpulkan bahwa metode suatu
ilmu harus dilihat menurut arti yang lebih luas , karena perkembangan ilmu itu
sendiri turut membangunnya. Seluruh “genesis” suatu ilmu secara structural
termasuk metode, maka heuristic memiliki arti metodologis.
Konstruktivisme ini dapat dibedakan dalam beberapa
kelompok, pertama yang paling dekat dengan positivism, pandangan W.V.O Quine.
Pendapatnya oleh W.Stegmuller disebut suatu bentuk “holisme”(bertolak dari
keseluruhan istilah biologi diterpkan pada sitem suatu ilmu), kelompok kedua
yaitu “filsafat ilmu baru”.
Pandangan terakhir terdapat pada Thomas Kuhn .
Gestalt(atau istilah yang sepadan seperti “teori sistem”, “holisme”) semacam
itu disebutnya “paradigma”. Dengan menggunakan gambar kepala kelinci-itik, ia
menjelaskan bahwa sepanjang sejarah sains, teori, hukum, dan fakta disusun
dengan bertolak dari rengrengan atau paradigm yang secara tak sadar telah
terdapat pada manusia. [3]
B. Metode Ilmiah Filsafat Ilmu
Pengetahuan
dapat diperolehdari informasi yang diberikan oleh orang lain kepada kita. Yang
dimaksud dengan informasi disni adalah wacana yang dapat berbentuk lisan maupun
tulisan . Dengan demikian pembentukan pengetahuan akan berbeda-beda bagi tiap
individu sebagaimana dikemukakan oleh pandangan konstruktivisme . Sesuai
pandangan tersebut, kecepatan seseorang membentuk pengetahuan juga berbeda-beda,
jadi meskipun informasi atau stimulusnya sama, berbagai individu akan membentuk
pengetahuan yang berbeda dengan kecepatan yang tidak sama pula.
Para
filsuf senantiasa ditantang untuk menjawab segala sesuatu atau peristiwa yang
mereka alami.Filsafat itu pada awalnya membahas tentang hakikat segala hal dan
dimulai dengan pemikiran manusia mengenai alam dan segala peristiwa yang ada
yang kemudian berkembang lebih luas lagi.
Sains
telah berkembang secara cepat sejalan dengan perkembangan teknologi. Misalnya ilmu
kealaman secara berangsur memiliki banyak cabang ilmu yang masing-masing
ditelaah, diteliti, dan dikembangkan oleh kelompok ilmuwan yang berminat
terhadap cabang ilmu tertentu.[4]
C. Metode Ilmiah Thomas Kuhn
Thomas Kuhn adalah seorang filsuf sains yang
menekankan pentingnya sejarah sains dalam perkembangan sains. Dengan sejarah
sains ilmuwan akan memahami kenyataan sains dan aktifitas sains yang
sesungguhnya. Namun demikian ia tidak sependapat dengan pandangan yang
mengemukakan bahwa perkembangan sains bersifat evousioner dalam mendekati
kebenaran, dalam ati perkembangan sains itu bersifat akumulatif. Hal ini
terjadi karena bagi Thomas Kuhn perkembangan itu bersifat tidak sinambung dan
tidak dapat diperbandingkan antara satu teori dengan teori lainnya.
Thomas Kuhn berpendapat bahwa perkembangan sains
bersifat revolusioner karena bagi Kuhn sejarah itu bersifat tidak sinambung dan
perkembangan sains ditandai dengan lompatan-lompatan revolusi ilmiah.
Revolusi ilmiah merupakan proses peralihan dari
paradigma lama ke paradigma baru. Dengan perubahan paradigma ini, cara pandang
ilmuwan dalam menentukan masalah , menetapkan metode dan teknik, dan penarikan
kesimpulan terhadap kenyataan alam akan berbeda dari sebelumnya. Revolusi
ilmiah terjadi karena adanya persepsi ilmuwan terhadap kekurangan paradigma
yang dianutnya dalam memecahkan masalah realitas alam. Semua ilmu menggunakan
paradigma tertentu yang diyakini dapat membantu memecahkan masalah alamiah.
Saat ini ilmuwan menjadikan paradigma sebagai
pedoman dalam melakukan aktifitas ilmiahnya. Namun demikian, dalam
perkembangannya mereka menemukan anomaly sehingga timbul krisis kepercayaan
ilmuwan terhadap valditas paradigma yang dipercaya. Karena itu para ilmuwan
mencari paradigma baru yang dapat membantu aktifitas yang lebih memadai dari
paradigma seebelumnya.Setelah melalui kompetisi berbagai paradigma kemudian
diperoleh satu paradigma sebagai kesepakatan ilmuwan untuk dipakai dalam kerja
ilmiahnya. Proses revolusi intelektual dan sains menurut Kuhn bersifat
revolusioner. Revolusi ilmiah merupakan proses peralihan dari paradigma lama ke
paradigma baru dalam dari para ilmuwan, dan proses terjadinya revolusi ilmiah
bermula dari digunakannya suatu paradigma dalam masa sains normal.
Kemudian dalam kenyataan terdapat anomaly yang
merupakan kesenjangan antara paradigma yang berlaku dan fenomena. Dengan
menumpuknya anomaly, kemudian timbul krisis yangmengakibatkan para ilmuwan
meninggalkan paradigma baru yang disepakati para ilmuwan[5].
D. Paradigma Awal dan Proses Revolusi Sains
1. Objektivitas Sains: Paradigma awal
Wacana tentang
objektivitas sains menjadi hal yang penting untuk disinggung, karena mengingat
masalah ini menjadi pokok sentral dari paradigma ilmuan dalam merumuskan
metodologi. Umumnya kalangan positivistik -seperti August Comte- memiliki
anggapan bahwa ilmu itu dapat dicapai secara objektif jika pengetahuan
tersebut mampu dibuktikan secara induktif dan berpijak pada metodologi ilmiah
yang mampu dibuktikan secara faktual, observasi, eksperimental dan komparasi.Namun,
bagi Kuhn setiap ilmuwan dalam meneliti sesuatu dan menciptakan teori tentu ada
“paradigma” yang mendasari proses dalam penelitiannya, maka seorang ilmuan
mustahil bisa menolak subjektifitas individu karena paradigma dalam dirinya
menentukan arah sebuah penelitian. Dalam sains, paradigm mengandung unsur
asumsi dan prediksi tertentu tentang alam yang dimiliki oleh individu ilmuan.
Karena itu pemahaman seseorang terhadap ilmu pengetahuan tidak pernah bisa
bersikap “objektif”, kita harus memperhitungkan bahwa ada unsur subjektif dari
individu kita. Kuhn menjelasakan:
“Manusia yang berjuang
untuk menyelesaikan suatu problem yang didefinisikan oleh pengetahuan dan
tekhnik yang ada, tidak hanya melihat sekitarnya. Ia tahu apa yang akan ia
capai, dan ia mendesain instrumennya dan mengarahkan pemikirannya sejalan
dengan itu.”
Para ilmuan sering
mengklaim bahwa konsep-konsep dan teori-teori mereka bisa dipakai untuk
menjelaskan fenomena alam, apa yang sesungguhnya mereka lakukan di dalam sains
normal adalah menyusun fenomena berdasarkan konsep-konsep, kejadian
per-kejadian. Kegiatan para ilmuan yang memberikan makna atas konsep-konsep,
bukan makna inheren konsep-konsep yang menetukan kegiatan sains. Dengan
demikian, ilmuan mengkonstruk realitas untuk disesuaikan dengan gagasan-gagasan
yang diyakini sebelumnya. Dalam bukunya Kuhn juga mengatakan bahwa
evolusi sebuah teori ilmiah tidak muncul dari akumulasi sejumlah fakta-fakta,
melainkan dari seperangkat perubahan keadaan dari para intelektual dan
kemungkinan yang disimpulkannya. Maka unsur individu ilmuan ikut dalam
melahirkan sebuah teori dan konsep praktis.[6]
Selain itu, Kuhn juga
menjelaskan secara detail tentang unsur subjektif dalam sains. Ia mengatakan
bahwa pada dasarnya sains adalah model pemecahan masalah menurut
paradigma-pradigma tertentu. Alam tidak mungkin menjelaskan dirinya sendiri. Ia
tidak memperlihatkan dirinya menutut formula atau persamaan-persamaan
matematis. Adalah ilmuan yang memberikan makna terhadap gejala-gejalanya dengan
merumuskan bagaimana ia bisa sesuai dengan konsep-konsep dan
keyakinan-keyakinan yang ada, dan sejauh mana konsep-konsep dan keyakinan
tersebut dimodifikasi dan diperluas untuk mengakomodasikannya. Dengan kata
lain, -seperti yang disimpulkan oleh Ziauddin Sardar- bahwa tidak ada
perbedaan yang relevan antara konsep-konsep “teoritis” dan konsep-konsep
“faktual” di dalam sains. Kedua macam konsep tersebut adalah rekaan (invensi)
kita. Maka, kemungkinan sikap objektif sulit diraih dalam merumuskan sains.
2. Proses Revolusi Sains
Revolusi sains dapat
dianggap sebagai episode perkembangan non-komulatif yang di dalamnya paradigma
yang lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang
bertentangan. Paradigma baru ini lebih memungkinkan menyelesaikan
anomali-anomali yang dari paradigma lama. Pada proses revolusi sains ini,
hampir seluruh kosa kata, istilah-istilah, konsep-konsep, idiom-idiom, cara
penyelesaian persolan, cara berfikir, cara mendekati persoalan berubah dengan
sendirinya.
Tentu perangkat yang
lama yang mungkin masih relevan untuk difungsikan tetap tidak dikesampingkan.
Tetapi, jika cara pemecahan persoalan model lama memang sama sekali tidak dapat
digunakan untuk memecahkan persoalan yang datang kemudian, maka secara otomatis
dibutuhkan seperangkat cara, rumusan dan wawasan yang sama sekali baru untuk
memecahkan persoalan-persoalan yang baru , yang timbul akibat kemajuan ilmu dan
tekhnologi, yang berakibat pula pada perluasan wawasan dan pengalaman manusia
itu sendiri. Seperti contoh ketika geosentris berubah kepada heliosentris, dari
flogiston kepada oksigen, atau dari korpuskel kepada gelombang, ini merupakan
sebuah tranfromasi konseptual dari paradigma yang telah ditetapkan sebelumnya
tidak kurang destruktif secara menentukan. Kita malah akan memandang bahwa ini
adalah sebuah contoh dari revolusioner dalam sains.
Ia menggambarkan
bermulanya revolusi sains secara jelas: “Sains normal…sering menindas
kebaruan-kebaruan fundamental karena mereka pasti bersifat subversif terhadap
komitmen dasarnya…(namun) ketika profesi tak bisa lagi mengelak dari
anomali-anomali yang merongrong tradisi praktek ilmiah yang sudah ada…”, maka
dimulailah investigasi yang berada di luar kelaziman. Suatu titik tercapai
ketika krisis hanya bisa dipecahkan secara revolusi di mana paradigma lama
memberikan jalan bagi perumusan paradigma baru. Demikianlah “sains
revolusioner” mengambil alih. Namun apa yang sebelumnya pernah mengalami
revolusioner itu juga dengan sendirinya akan mapan dan menjadi ortodoksi baru,
dalam arti sains normal yang baru. Jadi menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui
siklus-siklus: sains normal diikuti oleh revolusi yang diikuti lagi oleh sains
normal dan kemudian diikuti lagi oleh revolusi.
Dalam pemahmannya juga
tidak ditemukan kriteria sains secara konkrit yang digambarkannya. Mengingat
kriteria masih menjadi bagian dari metodologi. Semua persoalan dalam sains
terletak pada paradigma seorang ilmuan, maka yang terpenting menurutnya adalah
mengkontruk paradigma ilmuan lebih penting dibandingkan metodologi.
a.) Contoh Revolusi Sains
Untuk memperjelas
gambaran bagaimana proses revolusi sains atau dengan istilah lain benturan
paradigma secara ril berkembang dalam teori dan disiplin ilmu, baiknya
cukup mengambil beberapa contoh diantaranya:
1). Teori Copernicus dan
Ptolemeus
Copernicus memiliki
teori bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, bukan saran Ptolemeus bahwa
Matahari (dan planet-planet lain dan bintang-bintang) berputar mengelilingi
bumi. Sebelum Copernicus ada set yang rumitepicycles (lingkaran
di atas lingkaran) yang digunakan untuk memprediksi pergerakan ‘benda
langit’. Epicyclicasli Ptolmey kombinasi itu, oleh Abad
Pertengahan, menjadi terlihat kurang memadai, dan ‘memperbaiki’; oleh astronom
kemudian dan lebih rumit.
Copernicus menawarkan
kembali ke pandangan alternatif (disarankan oleh banyak orang
di Antiquity), tetapi dengan banyak data yang lebih baik untuk
mendukungnya; account baru ini menurunkan kompleksitas teori yang diperlukan
untuk menjelaskan pengamatan yang tersedia. Tentu saja, sekali
oleh Copernicus ’teori ini diterima oleh para astronom lain, itu
diantara masuk periode baru’ sains normal ‘.
Menurut Kuhn, ilmu
sebelum dan sesudah terjadi pergeseran paradigma begitu yakin bahwa teori-teori
mereka para ilmuan merasa tak tertandingi. Ketika terjadi
pergeseran paradigma maka secara simultan tidak hanya mengubah teori saja, hal
itu akan mengubah cara, kata-kata yang didefinisikan, cara para ilmuwan melihat
subjek, dan mungkin yang paling penting pertanyaan-pertanyaan yang dianggap
sah, dan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan kebenaran suatu teori
tertentu.
2.) Teori Newton
Dalam masalah gravitasi
misalkan, yang diinterpretasikan sebagai tarikan yang merupakan bawaan di
antara setiap pasang partikel, adalah sifat ghaib dalam arti yang sama dnegan
“kecenderungan untuk jatuh” dari aliran scolastik sebelumnya. Oleh sebab itu, sementara
standar-standar korpuskularisme tetap berlaku, pencarian penjelasan mekanis
dari gravitasi merupakan salah satu masalah yang paling menantang bagi yang
menerimaPrincipia sebagai paradigm. Newton mencurahkan banyak
perhatian kepadanya, demikian juga banyak penerusnya dari abag ke-18.
Satu-satunya pilihan yang tampak adalah menolak teori newton karena tidak
berhasil menerangkan gravitasi, dan alternative ini pun diterima secara luas.
Namun, kedua padangan ini tidak ada yang menang. Karena tidak dapat mempraktekkan
sains tanpa Principia maupun memberlakukannya sesuai
dengan standar standar kospuskular dari abad ke-17, para ilmuan lamban laun
menerima pandangan bahwa gravitasi itu memang bawaan.
Pada sekitar pertengahan
abad ke-18 interpretasi itu telah diterima secara hampir universal, dan
hasilnya adalah pengembalian yang tulus kepada standar skolastik. Tarikan dan
tolakan bawaan bergabung dengan ukuran, bentuk, posisi, dan gerakan sebagai
sifat-sifat primer materi yang secara fisikal tidak dapat direduksi.
Padangan bahwa adanya
anomali dalam teori gravitasi newton ternyata tidak semestinya mampu dibuktikan
dengan paradigm baru, akhirnya proses revolusi sains yaitu mengikuti teori
lama. Maka, sebenarnya tidak mudah membentuk sebuah konsep dan teori baru
ketika ditemukan adanya penyimpangan dalam teori lama. Gambaran di atas
menandakan revolusi memang membutuhkan kesiapan konsep, teori, dan hipotesis
ilmiah yang jelas sehingga revolusi sains dapat diraih.[7]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Revolusi sains yang digagas oleh Thomas Kuhn lebih menekankan pada
proses transformasi paradigma yang lama menuju paradigma yang baru yang lebih
mendatangkan sebuah alternatif. Proses-proses yang ia gambarkan dalam
perkembangan sains merupakan siklus bagaimana sains normal ternyata mendominasi
dari seluruh persoalan sains hingga saat ini, dan paradigma di sini dimainkan
oleh kalangan ilmuan yang mendominasi paradigma. Seperti ia sampaikan dalam
pembahasan di atas, bahwa umumnya para ilmuan tidak peduli dengan paradigma
lain yang berkembang, yang diutamakan adalah bagaimana teori-teori dan konsep
mampu diterapkan, jika ditemukan keganjalan mereka cenderung sulit menemukan
pemecahan. Makanya disini perlunya sebuah solusi untuk menyelesaikannya dengan
menerapkan revolusi sains.
Apa yang digagas oleh Thomas Kuhn memang secara konsep lebih
menjanjikan, namun penyelesaiannya tetap masih terlihat adanya kesamaan dengan
pola positivistik, dia menafikan kebenaran atau kepastian tertinggi di dalam
semesta ini. Usaha epistemologis manusia dianggap tidak memiliki tujuan akhir
dan tidak mungkin diraih secara objektif. Namun, gagasan dari Kuhn mendapat
tempat yang baik dalam pengembangan seluruh disiplin ilmu pengetahuan
kotemporer terutama dalam ilmu social-humaniora.
B.
SARAN
Sebagai
seorang mahasiswa yang mempelajari filsafat ilmu, penting untuk mengetahui
teori-teori dan metode ilmiah pemikiran para tokoh agar dapat menambah wawasan
dan pengetahuan tentang kefilsafatan.
Makalah
ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, untuk itu saran dan
kritik yang membangun penulis harapkan demi perbaikan makalah ini di waktu yang
akan datang.
[1]
C.A.Van Peursen.Susunan Ilmu
Pengetahuan:Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu.(Jakarta:Gramedia,1985),hlm.79
[2]
Ibid,him.82
[3]
Ibid,hlm.87
[4]
Prof.Dr.Mukhtar Latif, M.Pd,Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat
Ilmu,(Jakarta;Kencana,2014),hlm.133
[5]
Ibid,hlm.138
[6]
https://pengemishikmah.wordpress.com/2011/07/10/revolusi-sains-menurut-thomas-kuhn/
[7]
https://pengemishikmah.wordpress.com/2011/07/10/revolusi-sains-menurut-thomas-kuhn/
Komentar
Posting Komentar